Fasisme1930-an di Jerman mengecam Yahudi sebagai bankir, kapitalis,
Football5starcom, Indonesia - Mantan Pelatih Borussia Dortmund, Ottmar Hitzfeld, menilai Mario Goetze adalah salah satu bakat terbaik yang pernah dimiliki
PengertianFasisme. Fasisme adalah suatu paham yang mengedepankan bangsa sendiri, yang bersifat ultranasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Fasisme berasal dari kata fasces yang berarti serumpun batang yang diikat di kapak. Hal ini adalah simbol otoritas hakim sipil Romawi Kuno atau juga dapat diartikan kejayaan.
6ciri paham fasisme. Pada awal abad ke-20 lahir paham fasisme yang menyeret dunia kepada Perang Dunia II yang dahsyat dan menelan korban jutaan manusia serta kerugian harta benda, serta lingkungan hidup yang tak ternilai. Fasisme adalah paham yang mengatur pemerintahan dan masyarakat secara totaliter yang dilakukan oleh diktator partai tunggal
Adapunpengertian dari idealisme menurut KBBI adalah (1) "Aliran
Sistempaham ideologi ini muncul di Italia tahun 1922 dan 1945 yang didirikan oleh Benito Mussolini, juga gerakan serupa di Jerman dan Spanyol. Fasisme merupakan salah satu tindakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan
. - Ideologi Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan. Istilah liberalisme berasal dari bahasa Latin, libertas atau dalam bahasa Inggris disebut liberty yang artinya yang dimaksud adalah kebebasan untuk bertempat tinggal, kemerdekaan pribadi, hak untuk menentang penindasan, serta hak untuk mendapatkan perlindungan pribadi dan hak itu, liberalisme juga didefinisikan sebagai suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama, maupun kebebasan sebagai warga Negara dinamakan liberalisme. Paham liberal maupun sebagai reaksi atas penindasan yang dilakukan oleh kaum bangsawan dan agamawan pada masa perkembangan feodalisme dengan pemerintahan monarki absolute. Pendukung utama paham liberal adalah kaum borjuis dan kaum-kaum terpelajar kota. Sejarah Ideologi Liberalisme Mengutip Heru Nugroho dalam penelitiannya pada Jurnal Ilmiah Bestari dengan judul Tinjauan Kritis Liberalisme dan Sosialisme Vol. 13, 2000 2, paham liberalisme mulai berkembang di pada abad ke-18 dan 19 di Prancis dan Inggris. Sebagai suatu gerakan, liberalisme dimulai pada masa renaissance yang memperjuangkan kebebasan manusia dari kungkungan gereja atau agama. Saat itu, kekuasaan raja, bangsawan, dan gereja mendominasi seluruh kehidupan masyarakat. Rakyat tidak memiliki kebebasan dalam berpendapat dan bertindak. Keadaan tertekan ini menimbulkan kritik dari berbagai kalangan yang menginginkan kebebasan di semua bidang kehidupan. Mengutip modul Sejarah Kelas XI 2020, konsep kebebasan dalam bidang politik melahirkan pemikiran tentang negara yang demokrasi. Konsep bebas dalam bidang ekonomi membuat masyarakat menentang monopoli dan campur tangan pemerintah, rakyat menginginkan ekonomi bebas. Dalam bidang moral, liberalisme menjunjung tinggi kebebasan individu dan menentang otoriterisme. Dalam bidang agama, kaum liberal menginginkan kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinannya, bebas beribadah menurut agamanya, dan juga bebas untuk tidak menganut agama apapun. Yang mana, urusan agama tidak boleh dicampur dengan urusan Siswanto dalam penelitiannya berjudul Konvergensi antara Liberalisme dan Kolektivisme sebagai Dasar Etika Politik di Indonesia dalam Jurnal Filsafat Vol. 38, 2004 270, menyebutkan bahwa ada empat unsur yang mendorong lahirnya liberalisme, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan, pemanfaatan alat-alat teknologi, perubahan sosial, dan timbulnya kesadaran memperbaharui cara hidup. Beberapa tokoh yang mengusung terjadinya liberalisme dalam kehidupan saat itu, antara lain Voltaire, Montesquieu, dan Rousseau. Salah satu peristiwa yang menjadi tanda lahirnya liberalisme di Eropa ialah Revolusi Industri di Inggris 1760-1840 dan Revolusi Perancis 1789-1815. Ciri-ciri Liberalisme Mengutip kembali dari Dwi Siswanto Jurnal Filsafat, Vol. 38, 2004 271, disebutkannya ada lima ciri liberalisme, yaitu Bentuk pemerintahan demokrasi adalah yang terbaik. Masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh. Pengaturan yang dilakukan pemerintah hanya terbatas. Kekuasaan seseorang diartikan sebagai hal buruk dalam kehidupan. Kebahagiaan individu adalah tujuan utama. Sementara itu, Heru Susanto membagi ciri-ciri liberalisme dalam beberapa bidang, antara lain sebagai berikut Bidang Politik Munculnya demokratisasi. Bidang Sosial Kebebasan berpendapat, kesamaan kesempatan dalam usaha, reformasi sosial, dan perasaan egaliter. Bidang Seni dan Budaya Kebebasan dalam berekspresi, seperti lukisan, drama, seni, musik, dan lain-lain. Bidang Ekonomi Ekonomi pasar yang demokratis. Contoh dan Penerapan Liberalisme Masih dari Heru Susanto, ia menuturkan dalam penelitiannya bahwa pengaruh atau praktik liberalisme yang berjalan dan berdampak bagi kehidupan saat ini adalah munculnya globalisasi. Secara garis besar, dapat dipahami bahwa globalisasi mengintroduksikan pasar bebas, hiperliberalisasi individu, dan berupaya mengurangi peran pemerintah dalam sektor ekonomi. Di Indonesia, sistem liberalisme tidak diterapkan dalam kehidupan politik, tetapi diterapkan dalam kehidupan ekonomi. Berdasarkan pandangan Heru Susanto, pengaruh itu tampak pada berkembangnya gaya hidup penduduk yang mengikuti zaman. Hal tersebut dapat dilihat dari gaya hidup mewah dan kebebasan dalam hal memilih kebutuhan merupakan ciri-ciri liberalisme dalam sektor ekonomi. Selain itu, pengaruh liberalisme juga dapat dilihat di beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Di negara-negara tersebut, liberalisme sangat dijunjung tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari penerapan demokrasi yang membuat rakyat bebas berpendapat dan berekspresi. Kemudian, dapat dilihat dari sektor ekonomi yang menerapkan prinsip sistem ekonomi pasar juga Sejarah Serta Pengaruh Ideologi Liberalisme di Asia dan Afrika Neoliberalisme di Antara MUI, Prabowo dan Jokowi Pengaruh Liberalisme di Asia Afrika Penyebaran paham liberalisme begitu pesat, hingga ke benua Asia dan Afrika. Paham ini kemudian memberikan pengaruh terhadap pergerakan masyarakat di kedua benua Bidang EkonomiPerkembangan liberalisme masuk ke dalam bidang ekonomi Asia-Afrika. Pengaruh liberalisme dalam bidang ekonomi contohnya Liberalisasi perdagangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Afrika. Perdagangan bebas membuat masyarakat Asia Afrika bebas melakukan perdagangan luar negeri secara sekuler. Negara-negara Asia Afrika mulai mengembangkan produk industri masing-masing. Taraf kehidupan masyarakat Asia Afrika meningkat. 2. Bidang PolitikSelain ekonomi, liberalisme juga memengaruhi politik negara-negara Asia Afrika sebagai berikut Masyarakat Asia-Afrika dapat memilih pemimpin mereka sendiri. Negara-negara Asia Afrika bebas menentukan sistem politik dan sistem pemerintahan. Masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan pendapat. Munculnya kebebasan dan kemerdekaan pers. 3. Bidang Sosial dan KebudayaanPengaruh liberalisme dalam bidang sosial dan kebudayaan di Asia-Afrika antara lain sebagai berikut Hadirnya sistem pendidikan egaliter di negara-negara Asia Afrika. Berkembangnya budaya populer di negara-negara Asia Afrika. Keikutsertaan negara-negara Asia Afrika dalam kancah fashion, olahraga, dan kesenian internasional misal Piala Dunia, Miss Universe, dll. Beragamnya sekolah dan perguruan tinggi yang bebas dipilih oleh masyarakat Asia Afrika. Baca juga Sejarah Perkembangan Nasionalisme di Indonesia dan 5 Prinsipnya Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara Indonesia Hakikat, Dimensi, Urgensi, & Isi Pancasila Sebagai Ideologi Negara - Pendidikan Kontributor Alhidayath ParinduriPenulis Alhidayath ParinduriEditor Maria UlfaPenyelaras Yulaika Ramadhani
OKRIKE OKRIKE IPS Sekolah Menengah Pertama terjawab Salah satu ciri fasisme jerman adalah a. Paham yang mengajarkan asas demokrasi untuk negara b. Angkatan perang Jerman kuat dan tidak tersaingi negara manapun c. Jerman mengaku sebagai bangsa tertinggi di dunia d. Jerman tidak menyetujui semua perjanjian di versailles Iklan Iklan RizalHendri RizalHendri Isinya adalah yang C..... Iklan Iklan nisa324 nisa324 mengaku sebagai bangsa tertinggi di dunia Iklan Iklan Pertanyaan baru di IPS Pendidikan sangat besar peranannya dalam menumbuh kembangkan nasionalisme. pendidikan meyebabkan terjadinya transformasi ide dan pemikiran yang mendor … ong semangat pembaharuan di masyarakat. kebijakan pemerintah kolonial belanda yang berdampak besar dalam perluasan pendidikan di indonesia adalah? Jika sesuai aturan Cultuur stelsel memberikan kemakmuran karena a. rakyat bebas memilih lahan untuk tanaman ekspor b. rakyat dibina berbisnis perk … ebunan sesuai dengan keinginan pasar c. kegiatan mengusahakan tanaman ekspor tidak terlalu diwajibkan d. rakyat dilatih menanam tanaman unggulan di seluruh hanya jangan ngasal Bentuk integrasi sosial yang terjadi akibat terdapatnya norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disebut integrasi? Berikut ini bukan merupakan faktor interen dari lahirnya nasionalisme, adalah …? Pengusul penandatanganan naskah proklamasi kemerdekaan agar dilakukan oleh ir. soekarno dan mohammad hatta atas nama bangsa indonesia adalah? Sebelumnya Berikutnya
- Fasisme tidak muncul dalam semalam. Proyek politik ini adalah buah dari perjalanan seorang politisi memanfaatkan kekecewaan orang kebanyakan, mengkambinghitamkan pihak luar,’ serta membingkai programnya sebagai misi penyelamatan bangsa dan negara. Karena ini dibungkus sebagai misi mulia’, kekerasan yang menyertainya pun menjadi nampak wajar dan perlu. Mengacu pada konseptualisasi beberapa filsuf dan ahli politik, seri pertama dari rangkaian opini ini memaknai fasisme sebagai proyek politik yang dicirikan oleh ultranasionalisme dan otoritarianisme. Menghadirkan ilustrasi dari Inggris, Amerika Serikat, Brazil, Bolivia, dan India, tulisan tersebut menengarai adanya gelombang fasisme baru. Perbedaan antara fasisme era 1930an dan masa kini dibahas di seri kedua. Meminjam pendapat beberapa akademisi, tulisan ini mencoba mengurai proses munculnya fasisme. Ada pemikiran Michael Mann yang dituangkan dalam buku Fascists 2004 yang menekankan pada dual state, yaitu kombinasi antara sisa-sisa rezim lama dengan sistem demokrasi baru yang belum matang. Ada Dylan Riley dalam The Civic Foundations of Fascism in Europe 2019 yang menggarisbawahi peran organisasi masyarakat sipil. Yang sepertinya bisa menjahit aneka penjelasan tersebut dengan rapi adalah Manus Midlarsky dalam Origins of Political Extremism Mass Violence in the Twentieth Century and Beyond 2012 yang mendasarkan teorinya pada kejayaan sesaat ephemeral gains dan bayangan kematian mortality salience. Bukan sekadar Respons terhadap Krisis Secara sepintas, fasisme seringkali dilihat sebagai respons terhadap krisis besar. Gelombang fasisme tahun 1930-an, misalnya, seringkali dianalisis sebagai akibat dari resesi ekonomi, kekacauan politik, dan modernisasi pasca-Perang Dunia I. Lalu, gelombang baru fasisme belakangan ini sering dikaitkan dengan krisis finansial global pada akhir abad ke-21. Meski tidak sepenuhnya keliru, penjelasan di atas tidak lengkap karena tidak menjelaskan variasi antartempat dan antarwaktu. Kalau fasisme abad lalu muncul karena krisis ekonomi dan politik Eropa pasca Perang Dunia I, mengapa ia muncul di beberapa negara Eropa saja, dan tidak di negara Eropa lainnya? Jika fasisme abad kini adalah akibat dari krisis finansial global, mengapa ia hanya mendera beberapa negara, tetapi tidak lainnya. Mengapa fasisme—baik abad lalu maupun abad kini—terjadi pada kurun waktu yang spesifik di masing-masing negara, tidak sebelumnya atau setelahnya? Jawaban yang diajukan Michael Mann berkisar pada dual state. Ini adalah kondisi di mana sebuah negara terjepit di antara sisa-sisa rezim lama yang belum sepenuhnya terkikis dan rezim demokrasi baru yang belum sepenuhnya terlembagakan. Buku Mann secara rinci menunjukkan beberapa hal. Pertama, pasca Perang Dunia I, fasisme muncul hanya di Italia, Jerman, Austria, Hungaria, Rumania, dan Spanyol—menyisakan cukup banyak negara Eropa, terutama di bagian utara dan barat, yang terbebas dari fasisme. Kedua, derajat fasisme di keenam negara tersebut berbeda. Di Italia, Jerman, dan Austria waktu itu, fasisme naik sebagai kekuatan politik utama dan satu-satunya. Di Hungaria dan Rumania, ia bersaing ketat dengan kekuatan-kekuatan sayap kanan lain, yang sebetulnya sama-sama -otoritarianisme. Sedangkan di Spanyol, ia hanya menjadi bagian kecil dari kubu nasionalis pro-otoritarianisme. Menurut Mann, alasan mengapa fasisme abad lalu hanya’ muncul di enam negara Eropa—itu pun dengan derajat yang berbeda—adalah komposisi dual state-nya. Negara-negara Eropa utara dan barat dinilai telah berhasil menginstitusionalisasikan sistem demokrasi liberal sedemikian rupa. Karenanya, rezim lama tidak memiliki peluang kembali berpolitik, kecuali mereka setuju berpolitik secara demokratis. Sedangkan, di enam negara di atas, sisa-sisa rezim otoriter masa lalu dapat berkuasa kembali dengan menghancurkan atau memanfaatkan sistem dan prosedur demokrasi liberal yang masih lemah. Sebagaimana dirinci oleh Mann, taraf kekuatan rezim-rezim lama di enam negara di atas juga berbeda-beda. Di Italia, kelas atas dengan mudah mengadopsi fasisme sebagai proyek politik mereka guna menyelamatkan diri dari gerakan revolusi kelas pekerja. Begitu Perang Dunia I berakhir, mereka memanfaatkan para pemuda yang baru pulang berperang dan sistem demokrasi yang masih sangat lemah guna membangun paramiliter yang dapat menekan lawan-lawan politik mereka secara efektif. Fasisme Jerman muncul setelahnya, saat demokrasi sudah sedikit lebih kuat. Karenanya, upaya kelompok fasis Jerman berkuasa melibatkan strategi-strategi elektoral. Di sini, salah satu fungsi paramiliter adalah meraup suara dalam pemilihan umum. Di Austria, terdapat pertarungan antara dua kelompok fasis Austro-fascism dan Austrian Nazi. Yang pertama cenderung top-down dan prokapitalis, sedangkan yang kedua cenderung populis dan memilih melabel musuh utama mereka, Yahudi, sebagai kapitalis dalam kehidupan nyata, Kapten von Trapp di film The Sound of Music merupakan bagian dari kelompok ini. Singkat cerita, kemenangan Nazi di Jerman berujung pada kemenangan Austro-Nazi. Di ketiga tempat ini, rezim lama tidak menemui hambatan berarti dalam memanfaatkan sistem demokrasi yang masih lemah untuk berkuasa kembali. Di Hungaria dan Rumania, kelompok fasis harus bersaing dengan kelompok konservatif sayap kanan lainnya. Kekalahan Hungaria dalam Perang Dunia I serta perang sipil yang terjadi setelahnya menghabisi kelompok-kelompok sayap kiri. Jadi, politik domestik Hungaria saat itu tidak diwarnai kontestasi aneka aliran politik, melainkan persaingan ketat antara para birokrat pemerintahan dan anggota legislatif. Sisa-sisa rezim lama pun berupaya masuk kembali ke politik dengan mendukung salah satu dari kedua kubu, yang orientasi politiknya sebenarnya tidak terlalu berbeda. Sementara itu, kemenangan Rumania dalam Perang Dunia I memungkinkan sisa-sisa monarki lama, birokrasi, dan militer memasuki kembali arena politik. Sama-sama konservatif secara politik, mereka mengorganisir diri sebagai kelompok fasis, kelompok sayap kanan, dan lainnya. Di kedua negara ini, kelompok-kelompok fasis tidak menemui perlawanan berarti dari mereka yang ideologinya berseberangan. Tetapi, mereka juga tidak bisa berkuasa penuh seperti di Italia, Jerman, dan Austria karena harus terus-menerus bersaing secara ketat dengan kekuatan-kekuatan politik konservatif lainnya. Di sini, peran utama paramiliter adalah membentuk preferensi para pemilih. Spanyol—yang memutuskan netral di Perang Dunia I—tidak terlalu banyak mengalami perubahan struktur kelas dan konstelasi sosial-politik. Kelompok konservatif yang otoriter tetap kuat memegang kekuasaan. Karenanya, fasisme hanya bisa tumbuh sebagai sebuah sayap kecil dalam gerakan ultranasionalis dan antimonarki yang dipimpin Jendral Masyarakat Sipil Jika Mann menjelaskan kemunculan fasisme dari sisi rezim lama dan demokrasi yang lemah, Dylan Riley mengupasnya dari sisi organisasi masyarakat sipil dan demokrasi yang cukup berkembang. Menurut Riley, suatu krisis dan sebuah proyek politik hanya bisa berkembang ke arah fasisme jika ada organisasi masyarakat sipil yang terorganisir. Organisasi semacam ini hanya bisa tumbuh di tengah sistem yang cukup demokratis. Di sini, kita berbicara mengenai organisasi agama, klub olah raga atau hobi lainnya, perkumpulan tetangga, asosiasi profesi dan bisnis, serta koperasi. Riley menunjukkan bahwa fasisme yang muncul di Italia, Spanyol, dan Rumania ditopang oleh organisasi masyarakat sipil yang berbeda. Ini berkaitan erat dengan proyek kebangsaan yang dibayangkan di masing-masing negara. Di Italia, bangsa’ yang diidealkan belum ada, alias baru akan dibentuk di masa depan. Di sini, para produsen mengikat diri dalam asosiasi dan koperasi, yang nantinya bertransformasi menjadi partai politik. Mereka membayangkan bahwa tugas partai politik—beserta asosiasi, koperasi, dan paramiliter underbow-nya—adalah mengedukasi masyarakat luas akan proyek kebangsaan masa depan itu. Di Spanyol, bangsa’ yang diidealkan ada di masa lalu. Karenanya, wajar saja ketika institusi-institusi yang dibayangkan sebagai penjaga proyek kebangsaan ini adalah keluarga, keluarga kerajaan, keluarga pemilik tanah, serta gereja. Berbeda dengan Italia, mereka tidak melihat perlunya mengembangkan partai politik guna mengedukasi masyarakat luas. Terakhir, riset Riley menggarisbawahi bahwa fasisme Rumania bukan proyek mewujudkan bangsa masa depan’ atau kembali pada bangsa masa lalu’. Ia adalah proyek politik negara dalam mengorganisasikan dinamika dan kehidupan politik yang dihadapinya. Di sini, negara berusaha membentuk aneka organisasi masyarakat sipil atau mempengaruhi yang sudah ada supaya menjadi alat mendorong’ kepatuhan terhadap proyek kebangsaan’ yang didisain negara. Berdasarkan kelompok-kelompok yang mengusungnya, fasisme di Italia, Spanyol, dan Rumania dibedakan Riley sebagai fasisme partai, fasisme tradisional, dan fasisme negara. Yang menurutnya sama adalah suasana batin’ orang-orang yang tergabung dalam organisasi masyarakat sipil. Di tengah krisis yang berat, mereka merasa bahwa rezim dan sistem politik yang ada tidak akan mampu menawarkan jalan keluar. Mereka membayangkan diri sebagai kekuatan yang perlu mendobrak institusi politik yang ada dan kekuatan yang bisa melampaui kebuntuan solusi politik. Mereka merasakan panggilan membela’ masyarakat yang lemah, yaitu segmen masyarakat yang dianggap tidak bisa membela diri sendiri.’ Argumen Mann dan Riley cukup berbeda dalam beberapa aspek. Mann mengambil sudut pandang rezim lama, Riley organisasi masyarakat sipil. Penjelasan Mann menggarisbawahi lemahnya demokrasi, sementara Riley menekankan cukup berkembangnya demokrasi. Alih-alih membenturkannya, kita bisa memilih melihat studi mereka sebagai hal yang komplementer, misalnya sebagai dua sisi yang berbeda dari koin yang Sesaat dan Bayangan Kematian Bagaimana dengan Manus Midlarsky? Ia setuju bahwa krisis besar, rezim lama, organisasi masyarakat sipil, suasana batin’ masyarakat, dan kuat lemahnya demokrasi adalah komponen-komponen penting dalam menjelaskan kemunculkan fasisme. Hanya saja, ia berusaha merangkai semuanya dalam urutan proses yang lebih spesifik. Riset Midlarsky mengenai fasisme adalah bagian dari studinya yang lebih besar mengenai ekstremisme politik. Ia menemukan dua sebab utama. Yang pertama adalah kejayaan sesaat ephemeral gains. Menelusuri sejarah panjang negara-negara yang pernah dilanda ektremisme politik, ia mengidentifikasi arah trajectory yang khas. Awalnya, sebuah kelompok dipinggirkan. Lalu kelompok ini berhasil membalikkan keadaan sehingga berjaya. Namun, masa kejayaan ini tiba-tiba terpotong, atau dikhawatirkan akan segera terpotong, dalam kekalahan yang menyakitkan. Kekalahan di sini biasanya terkait dengan kehilangan teritori atau populasi, yang tentu berujung pada kehilangan daya tawar politik. Kekalahan yang datang tiba-tiba setelah masa jaya ini tentu menyakitkan. Para politisi membingkainya sedemikian rupa sehingga bisa menggerakkan massa. Walhasil, massa terjebak dalam suasana batin’ yang mendorong mereka ke salah satu, atau kombinasi dari, tiga jalur berikut takut kembali ke masa lalu di mana mereka dipinggirkan, marah akibat persepsi ketidakadilan, serta rasa malu dan dipermalukan humiliation-shame. Terjepit dalam situasi politik dan ekonomi yang kian memburuk serta terdorong oleh rasa takut, marah, dan/atau malu yang membuncah, mereka merasa bahwa kelompok mereka tidak punya pilihan selain menempuh langkah politik yang ekstrem. Meski kejayaan sesaat ini adalah komponen penjelasan yang penting, ada satu komponen yang tidak boleh terlupa, yaitu bayangan kematian mortality salience. Ketika individu dan kelompok secara kuat mengingat episode-episode kematian kaum mereka—baik sebagai pejuang maupun sebagai korban di tengah perjuangan melawan negara atau kelompok lain—impuls mengambil langkah politik yang ekstrem cenderung menguat juga. Seperti Mann, Riley, dan akademisi yang teliti pada umumnya, Midlarsky secara rinci mendalami kasus-kasus ekstremisme politik dari berbagai penjuru dunia. Ia mengekspolasi kasus-kasus fasisme di Italia, Jerman, Hungaria, dan Rumania, komunisme di Uni Soviet dan Cina, pembantaian di Cambodia, kekerasan atas nama Islam oleh Al-Qaeda, oleh Al-Muhajiroun, di Sudan, di Chechnya, dan di India, serta nasionalisme ekstrem di Sri Lanka, Polandia, Pakistan, Indonesia, negara-negara Balkan, Kerajaan Otoman, dan Rwanda. Semuanya menunjukkan kombinasi antara kejayaan sesaat dan bayangan kematian yang kuat. Sebagai rangkuman dari studi komprehensif Mann, Riley, dan Midlarsky, tulisan ini terpaksa menyederhanakan argumen-argumen mereka yang kompleks. Yang jelas, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa fasisme tidak berpangkal pada krisis besar saja. Ada komponen-komponen lain yang menentukan mengapa di tengah krisis yang luas, hanya beberapa negara saja yang terjangkit fasisme, sementara yang lain tidak. Ada persoalan kuat-lemahnya demokrasi, sisa-sisa rezim lama yang ingin membawa kembali cara-cara berpolitik yang non-demokratis ke arena politik kontemporer, organisasi masyarakat sipil yang merasa perlu mendobrak kebuntuan politik yang ada sebagai pembelaan terhadap mereka yang lemah, pembentukan dan penggunaan paramiliter, kejayaan sesaat yang berujung pada rasa takut, marah, dan/atau malu, serta bayangan kematian yang kuat. Bisa jadi, cara terbaik mencegah atau membendung fasisme adalah menangani masing-masing komponen di atas.* Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Ideologi di Jerman yang terkenal adalah ideologi Fasisme. Ideologi yang diciptakan oleh seorang penguasa Jerman bernama Adolf Hitler. Namun, apa itu sebenarnya fasisme? Fasisme adalah paham yang berdasarkan prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak/absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Menjadi sangat penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer harus kuat dalam menjaga negara. Baca juga Mengenal Seluk Beluk Budaya Jerman Paling Lengkap Latar Belakang Ideologi Fasisme Pada masa pemerintahan Adolf Hitler, dirinya bercita-cita untuk memperjuangkan dan membebaskan negaranya dari penindasan, bahkan dia bercita-cita untuk menguasai negara. Sehinggga, ada beberapa hal yang melatarbelakangi ideologi fasisme, seperti berikut ini. Hitler melahirkan ide Fasisme-nya atas situasi dan kondisi yang mencengkram saat di Jerman yaitu daerah dimana ketika Hitler singgah di Wina. Wina merupakan daerah yang sangat didominasi oleh suku Yahudi yang telah menindas rakyat, sehingga rakyat Jerman mengalami penderitaan, banyak pengangguran, tidak adanya keadilan sosial. Tetapi Hitler melihat sedikit harapan yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat Jerman bahwa dalam tubuh mereka, masih ada sifat nasionalisme. Sehingga itu semua dimanfaatkan oleh Hitler untuk menggerakan rakyat Jeman demi sebuah cita-cita untuk membebaskan Jerman dari belenggu Yahudi. Alasan kedua adalah Nazi, sebuah partai berpengaruh di bawah pimpinan dirinya, serta The Third Reich, visi masa depan Jerman yang dia perjuangkan, adalah fenomena tersendiri. Begitu pula dengan angkatan perang Jerman yang sanggup menguasai begitu cepat ke negara-negara sekitar Jerman. Namun, Hitler adalah sosok sentral yang jauh lebih fenomenal. Alasan ketiga adalah pemikiran politik Hitler dan ideologi Fasisme merupakan sebuah kerangka politik yang dia gunakan untuk mengatur Jerman. Karena menurutnya hanya dengan implementasi fasisme, Jerman dapat kembali pada kejayaan dan tidak ditindas oleh kaum Yahudi. Demi terciptanya sebuah tatanan politik Jerman di bawah kekuasaanya, Hitler memiliki kerangka politik yang dikemasnya melalui Fasisme yang telah dia jelaskan lewat karyanya Mein Kampf. Hal yang Dilakukan Hitler Untuk Menyebarkan Ideologi Fasisme Hitler menulis dengan sebuah perhitungan politik yang cerdik, yang kemudian diteruskan dengan gerakan Nasionalis- Sosialis sehingga terbangunlah Fasisme dengan kerangka politik Hitler yaitu Strateginya dimulai dengan melakukan propaganda dengan menyadarkan rakyat Jerman akan krisis yang melanda Jerman adalah dikarenakan orang-orang Yahudi. Sehingga hal ini menimbulkan perlawanan dari rakyat Jerman, bahkan untuk melakukan peperangan Propaganda dilakukan kepada kaum buruh agar mereka menjadi seorang Nasionalis- Sosialis Jerman sehingga mereka ingin melakukan gerakan untuk Negara. Dan ini harus dilakukan oleh seorang proklamator yang berani memimpin jutaan kaum buruh yang dapat memberikan dorongan baru untuk kemajuan Jerman Revolusi, titik ini adalah puncak yang diberikan oleh Adolf Hitler. Dimana revolusi itu adalah sebuah gerakan heroic yang harus timbul dari rasa nasionalis warga negaranya, dan revolusi akan gagal bila hal ini lahir bukan oleh rasa pembelaan tanah air di dalam negara itu Berangkat dari kerangka politik tersebut, itulah awal mula keinginan Hitler untuk meguasai dunia. Ya, ideologi fasis yang awalnya menurut Hitler merupakan solusi bagi negaranya, berubah menjadi sebuah ideologi yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat Jerman, tetapi oleh masyarakat dunia. Tertarik untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan Jerman dengan seluk beluknya? Tunggu postingan selanjutnya ya! Belajar bahasa Jerman akan lebih mudah ketika kamu juga memahami seluk beluk negara Jerman lho. Yuk mulai belajar Bahasa Jerman sekarang! Sumber
Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, melainkan juga rasialisme dan rasisme 19. Salah satu ciri fasisme Jerman adalah...a. paham yang mengajarkan asas demokrasi untuk negarab. angkatan perang jerman kuat dan tidak tersaingi negara manapunc. menghalalkan segala cara untuk mencapai maksudnyad. Jerman tidak menyetujui hasil Perjanjian Versaillese. bangsa Jerman mengakui sebagai ras tinggi di duniaJawaban E1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, melainkan juga rasialisme dan rasisme. Adolf Hitler memasukkan unsur anti-Semit pada fasisme. Kemunculan fasis di Jerman karena berdirinya Partai Buruh Jerman di Munich, yaitu Deutsche Arbeiter Partij oleh Adolf Hitler. Berkembang menjadi partai National Sozialistiche Deutsche Arbeiter Partij dan dikenal dengan Partai Nazi. Pada 30 Januari 1933, Hitler diangkat sebagai konselir adalah paham yang berdasarkan prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak/absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Menjadi sangat penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara. Fasisme adalah sebuah paham politik kekuasaan absolut tanpa demokrasi, paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Fasisme sering disebut sebagai sikap nasionalisme yang berlebihan atau tergolong gerakan radikal ideologi nasionalis yang menganut politik otoriter.
salah satu ciri fasisme jerman adalah